Lelaki Yang Meracau

 Peringatan!!! Cerita ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya yang berjudul Dua Orang Lelaki Dari Bukit Lamando




Tak ada yang benar-benar tenang

Dalam tenang selalu ada riuh

Yang ruwet untuk dihindari

 

Tak ada yang benar-benar tenang

Dalam tenang selalu ada sesuatu yang diselami

Ia berupa makna yang digali


Masih dalam diamnya. Ia terus mengaduk kopi. Sesekali menarik nafas dan mengedipkan mata perlahan. Sebuah adegan kedip sendu paling sunyi. Cahaya kemerahan dari api unggun, memancarkan kesan kelam. Ketenangan memang tak selalu tenang. Di dalam tenang, selalu ada makna yang dimaknai.  Sering pula tenang menjadi keributan ruwet. Namun, suara dari keributan itu selalu sembunyi. Seperti lelaki itu, yang masih saja bersembunyi dalam diam.


Apakah kata-kata saya sebelumnya begitu dalam? Mengandung banyak makna berceceran, sehingga harus dipungut satu-persatu? Entahlah. Bagi saya kata-kata hanyalah bualan. Motifasi pun demikian, tipu daya bagi mereka yang memang kehilangan arah. Sebab mereka belum menemukan makna dibalik kekosongan.


Ia masih saja mengaduk kopi dalam diam. Tak ada suara. Meski sendok yang berputar dalam gelas mengetok-ngetok. Sungguh aneh. Senyap macam apa ini? Suara mematikan volumenya. Maka, layaknya lelaki itu, saya mencoba menceburkan diri pada hening paling gaduh. Mencari makna-makna. Merefleksikan kembali kata-kata sebelumnya. Namun, sekali lagi saya berpikir untuk apa? Pekerjaan sia-sia.


Api unggun kini meminta kayu. Secara bertahap kayu masuk kekubangan api. Lagi-lagi untuk menghabisi tubuhnya sendiri. Demi sebuah nyala tak berarti tapi bermamfaat dan bermakna. Ya, apalagi kalau bukan untuk mamfaat dan makna.


Saya melihat lagi kearah matanya. Mata itu seperti memperlihatkan mendung tanpa hujan. Seperti memperlihatkan janji-janji tidak ditepati. Seperti memperlihatkan karang hancur karena bom. Aneh, ada mata bisa memperlihatkan hal-hal kontra. Kadang matanya menemukan kecerahan. Seperti langit tak berawan. Seperti bunga-bunga bermekaran. Kadang juga matanya tidak memperlihatkan sesuatu selain pancaran kosong belaka. Seperti mempertegas bahwa janji hanyalah omong kosong.


Dan dalam diamnya ada waktu yang berjalan sesuai keadaan; Kapan harus sedih? Kapan harus bahagia? Dan, kapan semuanya hanyalah kosong semata?


Kini, ekspresi wajahnya tak pernah berubah. Selalu datar dan kosong. Tangannya tak lagi mengaduk kopi. Perlahan tapi pasti, ia menyimpan sendok ke dalam nesting. Menyeruput kopi dengan mata dan wajah yang datar. Menahan pahit sejenak ke tengah lidah lalu menelangnya. Menarik nafas agak lama, menghembuskannya pelan.


“Humm (gumamnya), apakah rasa sakit bagian dari warna? Jika memang berwarna, warna apakah yang membalutinya?”


“Pertanyaan itu mengingatkan saya pada suatu keadaan,” diam sejenak, “ya. Hitam identic dengan kelam. Dan dari kelam itu, seseorang mencari cahaya yang kita sebut saja kedewasaan. Bagaimana menurutmu?”


“Entahlah. Rasanya saya takut kegelapan. Mungkin karena tidak ada cahaya di dalamnya.”


“Hahaha, dasar payah. Semua perihal waktu. Seseorang tidak akan pernah abadi dalam kelam, begitu juga dalam terang. Melangkah saja. Satu pijakan kaki pertama menjadi penentu untuk dirimu sendiri. Jangan lemah semenjak dalam pikiran. Ingat kamu itu punya akal. Tapi, jika diam menjadi pilihanmu, boleh-boleh saja. Sebab itu memang kehendakmu. Tapi, selamat menikmati jeruji pilihan.”


Sesudah berkata demikian, giliran saya untuk menyeruput kopi. Menatap api. Membayangkan kayu seperti lelaki itu. Berdiam untuk membunuh hatinya sendiri. Betapa malang nasib perasaannya. Dan apa kabar cinta? Saya rasa kamu tidak baik-baik saja.


Hening diantara kami terjadi lagi. Yang terdengar hanya tarikan nafas dan bunyi letupan kayu karena terbakar. Angin bertiup lembut. Jangkrik semakin nyaring. Dan rumput semakin basah. Lalu kami tenggelam dalam makna-makna. Sesekali menyeruput kopi. Membakar rokok. Dan diam lagi.

No comments for "Lelaki Yang Meracau"