Bulan Berdarah Kocika dan Pidalilia

Gambar bulan berdarah gambat dalil gambar hari baik gambar orang tua
Hari lebaran memang selalu menjadi hari kebahagiaan umat Islam. Bahkan selepas hari lebaran, kebahagiaan-kebahagiaan masih tetap ada. Biasanya, istilah hari yang digunakan selesai lebaran adalah suasana lebaran.

Hari-hari selepas lebaran seringkali terlihat keluarga jauh datang berkunjung untuk bersilaturahmi. Tapi bukan tentang silaturahmi yang ingin saya bahas di sini. Ini adalah hal paling besar dari silaturahmi. Apa itu? Udah baca aja… smile.

Begini everybody. Di kampung tempat saya tinggal, hari-hari setelah lebaran adalah hari paling sibuk. Di hari-hari ini pembahasan besar selalu dilakukan para keluarga. Mereka pasti akan membahas PERNIKAHAN. Ya, membahas pernikahan. Saya lagi tidak bicara semebarang lo… ini fakta. Tidak percaya! Silahkan saja datang di kampung saya untuk mengamatinya sendiri.

Seperti saat ini, di kampung saya pesta pernikahan berturut-turut diadakan. Teman saya pun sering mengistilahkan hari-hari usai lebaran sebagai Bulan Berdarah. Dan bukan hanya pesta pernikahan saja, ada juga acara akikah yang sering diadakan usai lebaran. Entah itu usai lebaran Idul Adha atau Idul Fitri.

Kebiasaan ini tanpa sadar sudah seperti tradisi di kampung. Saya masih bertanya-tanya, kenapa acara-acara keluarga paling banyak diadakan usai lebaran?

NB: Kalau kamu tahu jawabannya tolong beritahu saya di kolom komentar atau chat pribadi di akun FB dan IG saya La Ponja.”

Melihat kebiasaan ini, hal yang bisa dijadikan landasan untuk menjawab pertanyaan saya kemungkinan, bulan usai lebaran adalah bulan yang baik untuk acara apapun itu.

Barangkali bulan usai lebaran merupakan kocika umela (perhitungan baik atau hari baik) untuk melaksanakan acara-acara yang sedemikian keramat itu. Tapi ini masih barangkali ya… belum fakta.

Selain menjadi hari-hari kebahagiaan. Hari-hari usai lebaran juga menjadi hari-hari paling sibuk di kampung, karena pesta yang kiri kanan dan juga berturut-turut. Hikmah dari acara yang kiri kanan dan sampai berturut-turut ini adalah orang di kampung merasa bosan dengan makanan mewah yang ada di acara-acara. Orang di kampung sering juga berkata, “ternyata makanan yang sederhana seperti sayur kelor dan ikan bakar lebih nikmat dari pada yang mewah-mewah.”

Di hari-hari usai lebaran yang sibuk itu, juga menjadi hari-hari kekebalan telinga. Ehem… maklumlah, orang tua di kampung paling suka pika olo-olo (mengejek) anak muda yang dianggap cukup umur untuk menikah. Pertanyaan dan singgungan seringkali digaungkan dalam bentuk pidalilia (bahasa metafora untuk menyinggung). Di sinilah hal paling menyenangkan saat di pesta-pesta. Saling membalas pidalilia antara anak muda dan orang tua yang membuat segala pekerjaan menjadi ringan-ringan saja. Canda yang metafora memang lebih baik daripada canda yang janganta (jorok).

Kadang, kalau orang tua sudah pusing melemparkan metaforanya, orang tua langsung menembak dengan pertanyaan to the point. “Ham iso’o kama ainto na i'pia (kalau kamu adik-adik ku kapan)? Hanggae o sabangka miu no potabuem kusambano, isimiu sadada ka pi pongali pitambo dane’e (itu teman kalian sudah dapatkan kerang sungainya, kalian masih gali umpan). Ka asi uka si miu ana (kasihan juga kalian ini).”

Seringkali bahasa seperti ini langsung disambut oleh orang tua lainnya dengan bahasa pidalilia juga, “Hangga e, mo ia no pi ita kusamba i kahocia cuano i ye’e (benar saja, mereka cari kerang sungai di darat bukan di air).”

Kalau sudah begini, tergantung bagaimana pidalilia anak muda untuk membalas pidalilia para orang tua.

No comments for "Bulan Berdarah Kocika dan Pidalilia"