Dua Orang Lelaki di Bukit Lamando



Pada rasa bersalah

Saya tidak akan mencari pembenaran

Pada rasa bersalah

Hanya terima kasih yang bisa saya gaungkan

Agar pribadi lebih dewasa lagi

Motor saya parkir di salah satu rumah warga. Kemudian beranjak menuju bukit. Bercahayakan senter kepala, rumput basah terlewatkan begitu saja. Tak ada kata terseok-seok selama mendaki. Semua berjalan baik-baik saja.

Sampai pada ketinggian yang saya inginkan. Saya menyimpan tas. Duduk sebentar mengisap sebatang rokok. Mematikan senter. Betapa teduh tempat ini. Tak ada bising kendaraan. Tak ada berita kekacauan antar pemuda. Semua terasa damai. Yang ada hanya suara jangkrik dan bunyi-bunyi burung. Terang cahaya bulan yang belum purnama menambah keteduhan pada hamparan bukit ini.

Kembali senter saya nyalakan. Membaca arah angin. Kemudian memasang tenda sesuai perhitungan. Lalu mencari kayu bakar di sekitar tempat camp. Mengumpulkannya dan membawa semua kayu bakar kehadapan tenda.

Angin bertiup pelan. Cuaca yang begitu tenang memperlihatkan bintang-bintang berhamburan dan menyesak langit. Rokok tinggal beberapa isapan lagi. Sambil menunggu rokok ini melenyapkan tubuhnya sendiri, saya membuat api unggun. Nesting telah siap. Waktunya memasak air untuk segelas kopi.

Sambil menunggu air mendidih. Saya memutar lagu. Melihat-lihat api yang kejam menghabisi keikhlasan kayu. Menanam satu makna bahwa rokok dan kayu bakar merupakan perwujudan pengorbanan paling ikhlas. Mereka rela membakar diri guna memuaskan keperluan manusia. Akan tetapi, apakah ini bisa dikatakan sebuah pengorbanan atau manusia adalah makhluk jahat?

Usai menyeduh kopi. Di bawah sana ada cahaya yang sedang mendaki bukit ini. saya menyalakan lagi sebatang rokok. Menyeruput kopi. Menyaksikan cahaya itu berjuang menaiki bukit. Beberapa kali berhenti lalu mendaki lagi. Cahaya itu terus berjuang hingga tiba juga di tempat saya memasang tenda.

Melihatnya kelelahan, saya menyodorkan rokok padanya. Ia tersenyum.

“Sebelum saya menerima tawaranmu, bisakah kamu membantu saya mendirikan tenda,” Pintanya.

“Dengan senang hati, Tuan. Hahaha.”

Maka kami berdua mendirikan tenda. Berbicara omong kosong untuk memecah keheningan yang tidak kami ingikan abadi. Lagu yang saya pasang pun masih berteriak dari sekitar api unggun. Seolah-olah lagu itu merasakan panas.

“Tidak usah kamu membuat kopi disini. Mari ke tenda saya saja. Disana kamu bisa membuat kopi atau merebus makanan sesukamu,” tawar saya kepadanya.

“Terima kasih. Maaf sudah merepotkan.”

“Bagi para pendaki, tidak ada kata maaf karena merepotkan.”

“Yayaya. Terima kasih lagi kalau begitu. Hahaha.”

Kami berdua secara bersamaan berpindah ke area api unggun yang sudah menyala-nyala. Ia membuka renkot yang dikenakannya. Sebab panas tubuhnya seperti hendak merebusnya. Kembali saya menyodorkan rokok. Ia menerimanya. Membakarnya dan menghembuskan asap penuh nikmat. Tak lama berselang. Ia merebus air dan membuat kopi.

“Kamu tahu, tempat seperti ini bisa menelanjangi karakter dan perasaan orang lain,” katanya. “Saya tidak tahu pasti kenapa tempat seperti ini bisa membikin seseorang merasa damai dan berpikir lebih mendalam. Apalagi berbicara tentang cinta.” Katanya melanjutkan.

“Hahaha… lagi-lagi ada kata itu.”

“Ya. Jujur, saya kesini karena hal terakhir yang saya sampaikan kepadamu. Saya lagi bermasalah dengan seorang wanita yang saya cintai. Tapi saya enggan mengungkapkannya. Takut pada kenyataan buruk. Lalu hubungan kami perlahan renggang dan berakhir asing. Saya belum siap pada pedih-perih. Itu menakutkan bagi saya. Bagaimana menurutmu? Apakah saya salah atau saya sedang membinasakan diri pada hal yang belum saya ketahui kenyataannya?”

“Kamu sudah menjawabnya sendiri. Kamu takut pada sesuatu yang belum tentu sesuai pikiranmu. Dalam hidup, ada kenyataan-kenyataan lain. Hadir sebagai warna dan pendewasaan. Tanpa warna lain, seseorang tidak akan bisa beranjak dari satu tempat. Kamu harus berwarna. Terutama berani mengutarakan perasaanmu. Jangan payah. Takut hanya akan mengungkungmu. Dan kamu akan berakhir dalam kesia-siaan.”

Ia terdiam namun tangannya terus mengaduk kopi. Barangkali sedang menyelami apa yang baru saja saya katakan.

Bersambung...

NB: cerita ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya yang berjudul Perjalanan Menuju Bukit Lamando

No comments for "Dua Orang Lelaki di Bukit Lamando"