Perjalanan Menuju Bukit Lamando



Waktu kini sudah menunjukkan Pukul 21.00. Rasa bersalah masih berserakan dalam kepala. Gelisah. Dari dalam kamar tas carrier tergantung di dinding. Mata ini terus menatap tas itu. Berpaling ke samping lemari. Peralatan gunung tersusun rapi. Menggoda hati untuk camp di Bukit Lamando malam ini seorang diri.


Tanpa banyak perhitungan. Langsung saja barang saya masukkan ke dalam tas. Menghitung lagi apa yang kurang. Oh, mie dan kopi belum ada. Bergegas menuju ke mini market. Membeli secukupnya. Kembali lagi ke rumah. Mengisinya kedalam tas. Mengenakan sepatu. Menyalakan motor. Dan ngeng… 


Perjalanan meninggalkan kota demi mencari tenang, tercoret lagi pada bentang langit hitam. Bersama motor andalan, tiap jarak terlalui begitu saja. Kadang berhenti saat melihat kunang-kunang. Menyaksikan tiap-tiap kedipan cahayanya membuat dada ini lapang. Sebab memaknai kunang-kunang seperti memaknai proses kehidupan. Ada waktu di mana seseorang mampu menyalakan cahaya. Dan ada waktu seseorang mau tak mau merasakan gelap. Seperti juga perjalanan malam ini. Kadang menemui tempat terang. Kadang juga memasuki tempat gelap. Namun, seseorang harus tetap memiliki siasat untuk menggempur semuanya. Jangan terlalu percaya pada apa yang terlihat terang dan jangan terlalu payah dalam gelap. Lihatlah semua peristiwa penuh siasat. Karena tak semua terang itu baik dan tak semua gelap itu buruk.


Memasuki kelurahan Gonda Baru, kabut telah membatasi jarak pandang. Dinginnya membasahi tangki motor. Merabunkan kaca spion. Lampu-lampu rumah warga terkesan horor. Mirip adegan-adegan film Suzana di mana sebentar lagi sosok tak kasat mata akan muncul tiba-tiba. Entah mereka akan menumpang di jok belakang. Atau hanya beridiri saja di samping jalan sambil melambai-lambaikan tangan. Tapi, biarkan saja semua itu terjadi. Wejangan dari kampung mampu membuat mental jadi kuat, “saling menghargai itu penting. Jangan hina mereka (makhluk halus). Pasti mereka juga akan menghargai kita (manusia)”.


Kabut kian tebal setelah melewati jembatan masuk desa Kaongkeongkea. Wangi bunga kopi menyebar di sepanjang jalan. Harum dan basah. Bulu kudup merinding saat mendengar lolongan anjing. Meraung penuh jerit dan sedih. Lima belas hari bulan atau bulan purnama membawa banyak misteri di negeri ini. Cerita-cerita yang begitu rupa masuk kesetiap lapisan masyarakat pedesaan. Konon katanya, lima belas hari bulan merupakan malam para makhluk astral menari di langit. 


Tiba-tiba tangan dan kaki ini serentak mengerem. Cahaya lampu motor memperlihatkan sesuatu dari arah depan. Seekor ular besar sedang menyebrangi jalan. Kulitnya mengkilat diterpa cahaya lampu motor. Kepala ular tersebut sudah berada dalam jurang. Sedang bagian tengah tubuh ular ini melintang di jalan raya. Setelah menunggu beberapa menit ular menyeberang. Saya melanjutkan perjalanan menuju Bukit Lamando.


Jalur antara desa Kaongkeongkea menuju desa Hendea menyimpan banyak cerita tentang ular menyebrangi jalan. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Sering hal ini di dapati para pengendara yang melintasi jalur ini. Kejadiannya akan selalu sama. Ular yang berasal dari gunung, menyebrangi jalan, turun menuju dataran rendah. 


Setiap yang terjadi pada perjalanan malam kali ini tidak membuat nyali ciut. Apapun yang terjadi, saya harus berada di tempat tinggi seorang diri untuk menenangkan kegelisahan. Meratapi rasa bersalah sambil melihat api unggun, segelas kopi, dan senandung lagu. Rasanya ahhh… ada kenikmatan tersendiri yang membuat ketagihan. Setidaknya itu yang saya rasakan. Dan semoga, rasa bersalah yang lagi berserakan dalam kepala bisa tenang disana. 


Selama perjalanan menuju Bukit Lamando. Lagu Pesan di Balik Awan yang dinyanyikan Adhitia Sofyan, terus-menerus bersenandung.


Ku tuliskan cerita

Pada bentang hitam langit malam

Terbisikan dalam diam

Sampaikan padanya


Ku sampaikan berita

Tentang tanya lama yang tersimpan

Kukirimkan jelang pejam

Sampaikah disana?


Bersambung…


Catatan:

Ceritan ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya yang berjudul Perbincangan Dari Atas Motor Bersamanya


No comments for " Perjalanan Menuju Bukit Lamando "