Suara TV di Ruang Tengah Itu


Suara tv besar itu membangunkanku dari tidur. “Ini masih sangat pagi untuk membuka mata,” gumamku dalam hati. Namun suara tv itu tidak mengenal toleransi. Malah seperti alarm yang di pasang mama untuk membangunkan kami waktu kecil dulu.

Saya yang dipaksa bangun mencoba untuk menemui mimpi kembali. Berusaha menyambungkannya lagi. Sebab saya percaya bahwa mimpi suatu waktu menjadi harapan yang minta diwujudkan. Bukankah selama ini manusia hidup karena mimpi mereka! Meskipun mimpi suatu waktu menjadi hal sakit, karena tidak bisa tercapai. Ah, jika begini adanya, manusia musti sadar bahwa kebahagiaan itu rasanya tabu.

Namun, usaha untuk memasuki mimpi kembali menjadi suatu kesia-siaan. Suara tv itu bagaikan suara senjata di medan perang. Terus membuat keinginanku kocar-kacir. Dan saya terpaksa mengangkat kedua tangan pertanda menyerah. Menjadi tawanan yang disuruh masuk ke kamar mandi. Membasuh muka. Menyikat gigi. Lalu mengikuti semua perintah di hari ini.

Ada satu hal yang membuat saya berpikir sejenak, saat sepasang kaki ini melangkah keluar dari dalam kamar. Di ruang tengah, tempat tv berteriak kencang, tak ada sesiapa di sana, hanya tv yang menonton dirinya sendiri. Ruangan ini begitu sepi. Akan tetapi suara tv yang begitu kencang berusaha mengisi kesunyian yang ada. Seakan menegaskan suatu hal bahwa sunyi itu ada ketika kamu tidak merasa ada.

Saya yang melihat keadaan itu kembali menjadi acuh. Terus melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Membasuh muka. Menyikat gigi. Kemudian membuka kulkas. Ada susu kaleng di sana. “Segelas susu mungkin akan cocok untuk membuka pagi,” begitu kemungkinan berkata.

Setelah menikahkan susu pada gelas, lalu di sahkan oleh adukan sendok. Sebagaimana biasa, saya pergi ke teras rumah. Berjemur sejenak di bawah matahari pagi. Menatap tebing yang rimbun akan pepohonan tinggi. Sungguh, pemandangan ini masih saja adem untuk dilihat. Dan semoga tidak ada pengundulan di sana. Tidak juga dengan penggalian yang menebar polusi nantinya.

Ketika hendak mencapai teras rumah. Dari balik jendela, saya melihat bapak sedang duduk seorang diri. Mengisap rokok yang tentunya ada kopi di sampingnya. Saya pun mengambil posisi tempat duduk di sampingya. Menaruh gelas di meja. Melangkah menadah matahari pagi beberapa saat. Lalu kembali ke tempat duduk.

“Siapa menyalakan tv, bapak?” tanyaku membuka percakapan.

“Mamamu.”

“Iii… besarnya volumenya.”

Bapak terdiam sejenak. Memikirkan sesuatu untuk diceritakan.

“Itu karena kamu suka bangun lat hahaha,” jawab bapak dengan nada bercanda. Akan tetapi ada cerita lain di balik tawa itu. Selepas tertawa, saya ditubruk duga dari keadaan ini.

“Masa hanya gara-gara itu,” tentu, ungkapan ini diucapkan dengan nada bercanda pula.

Bapak kembali terdiam. Sebagai seorang yang sudah sering berkomonikasi, bapak tahu apa yang saya maksudkan. Tidak lain ingin mendengarkan cerita tentang rumah setelah seminggu lamanya saya, adik saya, dan kakak saya pergi meninggalkan rumah selepas acara aqiqah.

“Bagaimana cara membunuh kesunyian dalam rumah?” tiba-tiba bapak bertanya.

“Ya dengan melakukan aktivitas.”

“Humm… itu caramu. Tapi tidak dengan mamamu.” Jawab bapak kemudian dilanjutkan lagi, “kamu dan bapa tahu, seseorang akan melakukan caranya masing-masing untuk mengusir kesunyian. Mamamu pun demikian.

Setelah acara selesai dan rumah kembali sunyi. Mamamu selalu menonton kembali video ponakanmu. Jujur saja, hal itu adalah bukti kerinduan orang tua kepada anak maupun cucunya. Rumah yang terasa sunyi bagi mamamu adalah kehampaan. Bayangkan saja, dulu waktu kalian masih kecil, setiap pagi mamamu selalu membangunkan kalian. Membuka kain horden di kamar kalian. Kemudian kalian berebut siapa yang mau mandi duluan. Bertengkar. Lalu mama atau bapa saat itu yang meleraikan kalian, meskipun dengan cara marah-marah.

Satu bulan lalu, kakakmu datang membawa anak pertamanya sekaligus cucu pertama untuk kami orang tua. Di ruangan tengah itu, tempat tv di pasang keras volumenya, tempatnya ponakanmu dibaringkan. Di ruangan itu selalu ribut. Entah itu karena suara tangisan ponakanmu. Suara tv. Atau suara kakakmu yang mencoba menghibur ponakanmu ketika menangis.

Dan, satu minggu yang lalu, setelah acara aqiqah ponakanmu selesai, kalian semua keluar dari rumah. Mamamu hanya duduk sendiri. menonton video, membesarkan volume tv, kadang juga mamamu masuk di kamarnya kakakmu untuk baring-baring di sana.

Bapa tahu, nak. Mamamu itu lagi rindu kalian. Bapa juga begitu. Karena pas aqiqah kemarin, Alhamdulillah kita bisa kumpul semua. Mamamu sangat senang.

Alasan kenapa volume tv dibesarkan, itu adalah cara mamamu untuk menguir sunyi di rumah. Ingat baik-baik ketika kamu sudah menikah dan punya anak, kesunyian yang dirasakan bapa dan mama saat ini, kalian juga akan rasa. Di tambah lagi kamu sudah mau berangkat. Lama baru pulang. Betapa sunyinya rumah ini.

Untung saja, Nak. Kami di rumah ini punya foto-foto kalian waktu masih kecil, juga video. Di zaman sekarang ada satu keuntungan, kenangan bisa disimpan dalam layar kecil yang digenggam hari-hari. 

Nak, ketika kamu telah menjadi orang tua nanti, ada dua hal yang bisa membuat kalian bahagia. Pertama harapan yang tercapai. Dan, kedua kenangan yang tersimpan. Itu yang kami rasakan sebagai orang tua. Harapan dan kenangan adalah memori bahagia orang tua. Di dunia oran tua, yang membuat kami kuat selain harapan adalah kenangan. Volume tv yang besar itu merupakan bukti bahwa mamamu bisa kuat karena kenangan. Di sela-sela kenangan yang sedang menguak, ada harapan yang terselip. Apa harapan kami sebagai orang tua? Ya, bisa berkumpul bersama lagi. Hanya itu.”

Bapak berhenti sejenak. Membakar batang rokok berikutnya. Saya sebagai anak hanya bisa terdiam. Mengutip kata-kata bapak bahwa “harapan dan kenangan adalah memori bahagia. Dan, selain harapan, yang bisa membuat seseorang kuat adalah kenangan.”

“Waoww… ternyata bapa keren juga hahaha.”

Belum lagi menghembuskan rokok. Bapa tertawa karena pujian itu.

“Ponjaaa,” teriak mama dari dalam rumah, “Pergi cuci piring dulu.” Pintanya.

“Iyaaa… mamaaa.” Jawab saya mengejek.

“Berdosa… berdosa,” ucap bapa sambil bercanda.


No comments for "Suara TV di Ruang Tengah Itu"