Sebelum Beranjak


Orang bilang “saat-saat terakhir merupakan waktu yang tepat untuk jatuhnya air mata.” Hanya saja itu tidak terjadi di antara kita. Aku dan kamu telah mematahkan apa yang orang lain bilang. Justru waktu terakhirlah yang membuat kita bisa tertawa sampai sebegitu girangnya. Bahkan pertemuan itu membuat kita semakin dekat.

Aku dan kamu memulai cerita ini saat malam sedang mempersiapkan sebuah catatan. Catatan mengenai kita berdua tentunya. Yang mengisi malam pertemuan sekaligus perpisahan di waktu yang cepat. 

Saat itu, aku sedang menunggumu di teras rumah. Sambil sesekali melihat layar hp. Apakah chat sudah dibalas atau belum. Kamu tahu, aku benci saat-saat seperti ini. Mengecek layar hp yang terkadang membuatku mengecek ketidak-pastian. Dan kegelisahan suka sekali berdenging seperti nyamuk, sangat menyebalkan. Apakah jadi? Atau mungkin ini hanyalah… Akan tetapi kegelisahan tidak menyenangkan itu hilang saat melihatmu menuruni tanjakan menggunakan sepeda motor. Secepat mungkin aku ke pinggir jalan. Menelfonmu untuk kembali.

Dan inilah yang paling menarik dari kegelisahan, bahwa pertemuan diantara kita menjadi barang pasti. Melihatmu datang, perasaan ini campur aduk. Ada canggung. Ada malu. Ada ini dan itu. Tapi kamu selalu tahu kalau aku selalu bisa mengatasi hal-hal seperti ini. 

Di tanjakan, aku memintamu untuk membawa motor. “Kamu saja,” ucapmu menolak. “Kamu saja”. “Tidak, kamu saja.” Usaha tawar-menawar terjadi. Dan akhirya aku yang mengemudikan motor. Kita beranjak menuju bioskop untuk menunaikan ajakan. 

Sampai di bioskop ternyata film baru akan di mulai Pukul 21.50. Hampir dua jam lagi kita harus menunggu. Katamu, “Kita nongkrong di tempat lain saja sembari menunggu film akan dimulai.” Bergegas langkah kaki menuju parkiran. 

Karena bingung mau ke mana. Kita berdua mengisi kebingungan itu dengan berkeliling kota. Menyusuri jalan satu hingga jalan lainnya. Sambil tertawa di atas motor. Kadang kalau kamu kalah bercanda, kamu akan memukul bahu atau tidak punggungku. Lalu meminta maaf. Lagi dan lagi. Maaf dan maaf lagi. Hingga kita berdua duduk di satu tempat. Bercerita apa saja hingga cerita kita memungut kembali cerita dari masa lalu. “Kayaknya dulu kita duduk di sana,” katamu memanggil masa lalu. Bibir ini tersenyum. “Jangan senyum begitu. Malu tahuu...” rengekmu. 

Kamu tahu dan selalu tahu, bahwa gelagak malu yang selalu kamu tunjukan merupakan hal manis. Aku selalu menyukai saat-saat seperti itu. Melihatmu malu dan berusaha menenangkan diri.

“Kamu mau pesan apa?”

“Miuman dingin saja.”

Sambil menunggu minuman datang di dekat ombak yang terus saja memburu karang. Cerita dari masa lalu satu persatu mulai terpungut. Masa lalu mencair. Menjadi tawa. Dan menjadi sesuatu yang manis. Meluber. Hingga perbincangan kita mulai menghentak perihal hidup selanjutnya. Berbincang mengenai mimpi. Sebuah perbincangan yang dipenuhi rencana. Rencana dan rencana. Aku berfikir, “Apalagi yang bisa menyemangati seseorang menjalani hidup kalau bukan karena mimpi. Paling tidak kita punya motif dan motivasi dalam perjalanan yang entah ini.” 

Ada satu pertanyaan mengenai rencana masa depan. Apakah masa depan berhasil menjadi masa lalu? Rencana saat ini hanyalah daun mati selepas muncrat bersama satu dua air liur. Entahlah.

Perbincangan sempat terputus sebab minuman pesanan kita datang. Matamu. Aku paling suka melihat matamu. Seolah-olah aku menemukan rumah di matamu. Yang membuka pintu untuk masuk ke hatimu. Di sana, jantung berkata, “kita adalah rumah dari jarak yang masih jauh.” Hanya saja aku tidak bisa menyampaikan itu secara langsung. Kubiarkan saja hati ini menggumam sesukanya. Takut, ketika bibir ini yang berucap, kamu akan malu sejadi-jadinya. Barangkali juga kamu akan tersedat karena kata-kata sok puitis itu.

Sambil menghabiskan minuman. Kita mengecek waktu yang melingkari tangan. Beberapa menit lagi film akan dimulai. Kita kembali beranjak. Berkeliling kota sambil berboncengan. Sesekali kamu memukul bahuku karena kalah bercanda. Lalu meminta maaf. Lagi-dan lagi. Maaf dan maaf lagi.

Di bioskop, orang banyak berdiri menunggu di depan pintu studio. Aku dan kamu duduk sedekat mungkin. Jarak yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Lalu berdiri di antara jejeran penonton yang ada untuk masuk kedalam. Mencari tempat sesuai nomor. Dan duduk bersebelahan. Menyaksikan tiap adegan film yang gurih akan leluconnya. Tertawa sebebas mungkin.

Dan…

***

Hey, kamu yang baca ini ingin tahu apa yang terjadi di dalam bioskop? Begini kronologinya. Hiyahiyahiya…

Kami hanya duduk menyaksikan film. Nonton dan hanya menonton lalu pulang ke rumah. Begitu saja. Tidak ada adegan yang kami buat sendiri. Tidak ada. Seriusss… jadi kamu jangan berpikir macam-macam ya…!

“Terima kasih untuk malam dan pertemuan yang panjang ini.” ucapku sebelum kita berpisah.

***

Dan, di sana bunyi kapal mendenting. "Sampai jumpa lagi." Kataku berbisik sambil mengingat wajahmu.

No comments for "Sebelum Beranjak"