Kita Pasti Akan Berganti dan Kembali

 


“Yang pasti dari hidup adalah berganti.” Tiba-tiba saja ia membuka percakapan. Keheningan semenjak kedatangan kami di Pantai ini, terhempas oleh ucapannya. Namun ada yang berbeda. wajahnya serius saat berkata demikian. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang penuh canda dan tawa yang gurih.

“Saya serius kali ini. Apa yang kau pikirkan, saya tahu pasti. Dan saya tidak sedang membual sekarang.” Ia menekankan lagi. Memperjelas kebenaran ekspresi pada pernyataannya barusan. Menatap kearah matahari yang sebentar lagi akan menusuk cakrawala.

Laut terus saja berusaha menggapai kaki kami yang terlentang di atas pasir Nirwana. Angin sore memang selalu rawan. Mungkin saja angin sore sedang membisikkan sesuatu dalam kepalanya. Dan merubah pikirannya seketika.

“Hey, jangan diam saja.” Kali ini ia menepuk pundakku. Pertanda bahwa kami harus berbincang pada ranah yang berbeda. Hanya saja saya masih suka berdiam diri. Menyaksikan bulir-bulir pasir di ujung ombak yang terobok-obok. Bulir pasir yang kacau dan berusaha menetap pada tepian namun ombak tidak seramah itu.

“Hey.” Ia menyapa kembali.

“Apakah hidup yang berganti akan mengubah cerita kita sekarang?” Langsung saja saya melontarkan pertanyaan.

Ia terdiam. Menundukkan pandangan sejenak. Lalu memandang lagi kearah matahari yang kini telah menusuk cakrawala.  “Kita bukan anak-anak lagi. Orang galau sering berkata bahwa yang pasti dari hidup adalah perpisahan. Tidak. Itu tidak benar.” Tegasnya. Saya menyeringai. Kali ini ia memang berbeda. Waktu telah mengubahnya secara ajaib. “Hidup yang pasti adalah berganti.” Ia mengulang ucapan sebelumnya. 

“Inilah yang paling brengsek dari pertemanan. Empat tahun sudah. Dan dua minggu lagi kenyataan hidup membuka gerbang. Cerita dari kebersamaan kita akan berganti. Seperti matahari yang meninggalkan siang dan mengubah langit menjadi gelap. Itulah kepastian dari hidup. Bahwasanya hidup akan berganti. Kau akan berganti dengan kau yang lain. Entah kapan dan di mana tapi itu pasti. Itu yang coba kau jelaskan bukan!” Saya menimpal perkataannya.

Kau teridam kembali. Apakah perkataan barusan telah memukul renungannya? Mungkin saja.

“Haah (menghembuskan nafas lewat mulut), hidup memang bajingan untuk dijalani.” Umpatnya diikuti tawa.

“Saya lebih suka kau mengumpat dari pada sok mendalam. Menurut saya itu lebih cocok dengan karaktermu. Ada satu cuplikan video yang merekam dua lelaki paruh baya dalam satu mobil. Salah satu dari mereka berkata: jika kita kehilangan karakter, maka kita kehilangan segalanya. Tapi, kau harus tahu mana karakter yang musti dipertahankan. Yang buruk simpan saja. Sesekali jika diperlukan, kau bisa menggunakannya lagi. Hiahiahia.”

Ia pecah dalam tawa. Suasana terbangun seperti biasa. Ada kata kasar dan ending yang goblok. Pertemanan seperti ini membuat kami merasa punya dunia tanpa batas. Saya dan dia tak pernah memakai topeng.

“Kau tahu, tidak mudah mendapatkan teman goblok sepertimu.” Pujinya menggunakan ekspresi menyebalkan.

“Dan, kau tahu, tolol rasanya menjadi sok dewasa sepertimu hahaha.”

Matahari telah menjadi setengah. Ombak yang terus memukul pantai, perlahan surut seiring tenggelamnya matahari. Tawa demi tawa meminang kebrengsekan hidup saat ini.

“Saya masih ingat perkataanmu yang dulu. Saat kita duduk di tangga kampus melihat orang lalu-lalang di parkiran. Suatu saat nanti, pertemanan akan menemukan kesunyiannya.” Mulut ini mulai menarik masa lalu.

“Kalimat itu keluar tanpa pernah saya pikirkan. Tapi keren juga ya. Kalau dipikir-pikir saya hebat juga hahaha. Brengsek memang kita ini. sok dewasa malah oon. Atau kita ini sebenarnya orang cerdas.”

“Cerdas… cerdas (ucap saya sambil menekan suara) cerdas untuk goblok. Kita bicara saja susah mau serius. Atau, kita ini tidak serius tapi serius. hahaha.”

“Ah, dasar Patrick.”

“Lah, kamu Spongebob.”

Ada hal menjengkelkan dari waktu-waktu sekarang. Kami sedang berpura-pura menjadi anak kecil. Menolak untuk dewasa.

“Tapi, saya sepakat dengan perkataanmu. Yang pasti dari hidup adalah berganti. Hanya orang galau yang berkata bahwa perpisahan adalah kepastian dari hidup. Sebab kita tidak benar-benar berpisah. Kita hanya menanam ego untuk tidak bertukar kabar apalagi cerita. Hiahiahia.” 

“Ciah… baru ngeh. Dasar loading.”

“Hehehe, waktu akan mengganti hal-hal kemarin di hari berikutnya. Bahkan di saat sekarang dan setelahnya. Dinamis memang. Lagi-lagi kita harus menerima kenyataan bahwa kita bukan anak-anak. Kita telah berganti menjadi dewasa. Tak ada ombak yang sama dari laut yang sama. Kita benar-benar akan berganti.”

“Beganti jadi ultraman yang galau.”

“Anjing… kali ini saya serius.”

“Hahaha, itu yang saya rasakan tadi. Kamu lebih cocok marah ketimbang serius.”

Tawa di antara kami enggan beranjak. Tidak serius merupakan hal serius untuk kami. Mereka yang terlalu serius akan mudah kecewa. Dan mereka yang selalu tertawa akan santai menghadapi kekecewaan. Lebih jauh lagi, mereka yang sering tertawa barangkali seorang psikopat.

“Bagaimana kalu kita belajar serius?” Tanya saya memotong tawa.

“Oke. Sekarang coba kita tenang.”

“Ho’ooo tenang.” 

Kembali kami tertawa. Sepertinya memang susah menjadi serius. Benar! Menjadi tidak serius adalah keseriusan untuk kami.

“Menurutmu, jika yang pasti dari hidup adalah berganti. Apa yang perlu dipersiapkan? Setiap pernyataan dan pertanyaan pasti punya tanggapan dan jawaban.” Gantian, ia yang menebas tawa menggunakan pertanyaan.

Saya terdiam sejenak memikirkan jawaban. “Yang pasti dari hidup adalah berganti. Dan, yang kita butuh hanyalah adaptasi. Anjay… tulis, quot senja ini.”

“Adaptasi.” Ia mengucapkan kembali kata itu dengan tenang. “Setelah saat ini atau dua minggu berikutnya. Apakah kita akan begini saja?” lanjutnya. Wajahnya tenang. Saya menduga bahwa ia sedang mempersiapkan sebuah kehidupan berikutnya. Sebuah hidup yang sering disebut sebagai masa depan.

“Haah (menghembuskan nafas menggunakan mulut), kali ini kau memang menginginkan hal serius. Pembicaraan yang matang. Saya ingin kau memahami pernyataanmu sebelumnya. Bahwa yang pasti dari hidup adalah berganti. Sekarang, pikirkan baik-baik apa yang musti kamu ganti dalam hidupmu. Dan ingatlah hal ini, lakukan sesuatu demi keluarga. Karena orang yang sukses benar adalah mereka yang memikirkan keluarganya.  Satu lagi, jika kau telah sukses, jangan pernah lupakan siapa saja yang berjasa dalam hidupmu terutama keluargamu. Karena keluarga tempat kita berpulang.”

Ia terdiam. Namun agak lama. “Baiklah. Hidup akan berganti setelah malam ini jatuh. Matahari yang lahir besok adalah kelahiran baru untuk kita.” Ia mengepalkan tangan. Menyodorkannya kepada saya. Di hadapan matahari yang sedikit lagi habis, kepalan tangan kami bertemu. Ini seperti sebuah kesepakatan untuk suatu awal.

“Maaf! Jika yang kau maksudkan adalah hidup baru saja dimulai besok. Saya tidak akan meyakini itu. Sebab hidup telah dimulai semenjak lahir. Dan saya telah menetapkan pilihan hidup kedepannya sewaktu di Banda-Neira tepat saat senja di hadapan gunung Lewerani. Namun pagi besok akan menjadi pergantian pasti untuk kita.”

Ia menyuruhku mengepalkan tangan kanan. Bersama kami menumbuk matahari yang telah habis. “Yang pasti dari hidup adalah berganti.” Bersama pula kami mengucapkan kalimat itu. ada rasa haru yang mengobrak-abrik perasaan. Hanya saja laki-laki selalu pintar untuk berpura-pura terlihat baik-baik saja.

“Saya akan merindukan kejadian hari ini.” Ucapnya diiringi tepuk pada pundak ini.

“Anjingg… kata-kata apa itu?”

“Ya kata-kata saja. Lihat awan itu. ia selalu mengambang dan tak pernah menetap pada satu tempat. Kau sama seperti awan itu. Selalu ingin berpetualang. Itu sebabnya saya berkata akan merindukan kejadian hari ini terutama perbincangan kita yang berubah.  Terkesan aneh memang. Tapi ada satu fakta, laki-laki terlalu ego mengatakan kalimat seperti ini pada temannya sendiri.” tiba-tiba saya dirangkulnya. “Ingat, meskipun kita leting kuliah. Secara umur kamu masih di bawah hahaha.” Lanjutnya.

Dalam rangkulannya saya bertanya pada diri sendiri. Apakah saya akan bertemu teman seperti ini lagi?

“Tanggal berapa sekarang?” Ia bertanya memecah keheingan.

“18 Oktober 2022.”

“Empat tahun kedepan, datanglah di tempat ini pada tanggal dan bulan yang sama dengan hari ini. Datanglah sebagai manusia. Karena setelah tanggal 5 November nanti saya benar-benar hilang kabar. Ingat, empat tahun kedepan di waktu yang sama seperti sekarang. Jika kau sudah punya keluarga sendiri, bawalah mereka. Saya pun demikian.”

“Kok cuaca tiba-tiba berubah ya!”

“Tidak usah main satire. Pada akhirnya kita bisa serius. Hahaha.”

Malam telah bangkit. Kami balik kehaluan masing-masing. Empat tahun lagi. Kita akan berganti dan pasti akan kembali.


No comments for "Kita Pasti Akan Berganti dan Kembali"