Sepasang Mata Yang Kehilangan Harapan

“Kita tak perlu memasuki lorong itu” katamu di taman rumah sakit.

Aku tersenyum. Membiarkan dirimu terus berbicara di saat senja mulai membenahi langit. Daun-daun jatuh berguling tertiup angin. Beberapa helai jatuh di pangkuanmu. Beberapa helai lainnya mengikuti nasib.

Di taman ini, orang-orang menatap kosong pada apa pun. Sepasang mata yang kehilangan harapan. Sayu. Suram. Sungguh tiada harapan. Waktu seperti buntu dan orang-orang ditelan kepasrahan. Ditambah waktu yang mengantar pada kekelaman, seolah-olah diam dan menatap kosong menjadi pilihan.

Terlihat pula kantin di sini disesaki oleh mereka yang lesu. Tak tidur semalam karena harus menjaga keluarga yang sakit. Lagi-lagi, mata mereka diliputi kepasrahan. Apakah mungkin pasrah merupakan rujukan terbaik? Atau barangkali pasrah adalah upaya untuk merayu Tuhan, dengan menyelipkan beberapa harapan. Entah. Namun pada punggung orang-orang ini terpikul doa paling dalam.

Lalu pada sepasang mata dari penjaga kantin, berpendar harapan dan mencoba menasehati pembelinya. Terus memasukkan kalimat-kalimat arif layaknya perawakannya.

Sambil terus mendorong kursi roda. Kamu masih berbicara mengenai hidup yang singkat.

“Sudah kukatakan jangan masuk ke lorong itu” ucapmu kesal.

Kubelokkan kursi roda menuju bangku taman tepat di bawah pohon. Meninggalkanmu sejenak bersama pecahan-pecahan pikiranmu. Membeli minuman dan kembali menemanimu.

“Aku heran. Kenapa kamu tidak mau masuk ke dalam lorong itu?”

“Bukannya tidak mau tapi belum ingin. Lagi pula di sini suasananya bagus. Coba lihat orang yang ada di jendela itu,” tunjukmu menggunakan mata.

Seorang pria tua sedang duduk di hadapan jendela. Ditemani seseorang yang mungkin saja anaknya mungkin juga cucunya. Mereka menengadahkan pandangan ke luar jendela. Mata mereka kosong tetapi mencari-cari sesuatu. Dari balik jendela mereka seperti tak memiliki mata. Benar-benar mata yang suram dari dalam ruangan.

“Lihatlah mereka. Apa yang mereka pikirkan dari balik jendela itu?”

“Entah. Menurutmu bagaimana?”

“Aku rasa mereka sama sepertiku. Mulai kehilangan harapan akan hidup. Dalam tatapan ini malaikat maut telah berdiri tepat di depan. Menunggu bunyi tanda mati dari pasien monitor itu. Lalu malaikat menarik tangan ini. Menaiki sebuah perahu. Melayari lautan luas nan gelap.”

“Apakah hidup bagi orang sakit sekelam itu?”

“Aku rasa iya”

Kamu terdiam setelah mengatakan tiga kata tersebut. Memandang ke arah matahari tenggelam. Beberapa cahaya jingga yang meresap di wajahmu membangkitkan masa lalu. Ada tarikan senyum di bibirmu. Mungkin cerita dari masa lalu mampu menjadi hiburan di saat-saat begini. Mengenang-ngenang cerita dan tempat paling berkesan untuk menghibur hati yang kesusahan. Apalagi yang bisa dilalukan orang sakit kalau bukan mengenang sesuatu yang indah untuk menghibur diri.

“Aku suka senja itu” katamu, “Ponja, apakah aku akan tenggelam bersamanya?”

“Sena, kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Kamu harus optimis. Apa jadinya jika kamu meninggalkan aku sendiri di dunia yang fana ini. Hidup tanpamu bukanlah candaan. Itu nelangsa. Mungkin juga nanti aku akan terus bersedih saat melihat senja. Sebab perkataanmu barusan. Sena, berusahalah untuk tetap bersamaku di dunia yang keterlaluan ini.”

Kamu menyapa wajahku. Tanganmu lembut seperti adonan roti.

“Hidup adalah perpisahan yang harus diterima.” Bibirmu tersenyum bahagia hanya saja matamu berkata lain. Pada mata yang bekaca-kaca, tidak perlu mempertontonkan kebahagiaan yang pura-pura.

“Ya. Aku akan belajar kehilangan dari sekarang”

“iii... kok dari sekarang. Aku kan masih ada Ponjaaa,” wajahmu berubah cemberut. Aku tertawa sambil menarik hidungmu. Kali ini wajahmu memerah. Ada ekspresi malu yang lagi bersembunyi. Aku suka saat-saat seperti ini. Saat wajahmu memburamkan hal-hal suram. Cerah seperti jingga sore ini. Tapi semoga saja tidak sementara.

Cahaya jingga mulai pudar. Waktunya kembali ke dalam ruangan.

“Aku tidak ingin memasuki lorong itu” pintamu sekali lagi. “lorong itu gelap seperti jalan menuju kematian. Aku takut sekali. Cari jalan lain saja”

Kuiyakan pintamu. Kita melewati jalan lain. Menjauhi lorong gelap itu. Meninggalkan mata orang-orang yang pasrah. Seolah-olah pasrah adalah upaya merayu Tuhan, dengan menyelipkan beberapa harapan di dalamnya.

Di lorong lain. Orang-orang terkulai di depan pintu. Mereka sedang menemui mimpi. Entah indah atau menakutkan. Dalam ruangan lain, seorang wanita berteriak histeris. Salah satu keluarganya telah memasuki alam lain. Teriakan yang begitu sendu dan menusuk.

“Apakah aku yang berikutnya, Ponja? Di sini malaikat maut telah berdiri di depan pintu. Mengintip dari kaca dengan wajahnya yang gelap. Aku takut Ponja.”

“Tenang saja Sena. Yang menakutkan bukanlah malaikat maut. Tapi pikiran kita sendiri.”

Hening. Kepalamu menunduk. Mereka yang tertidur terbangun karena teriakan itu. Sungguh menusuk.

“Sena, aku paham sekarang. Mereka yang kuat adalah mereka yang bisa menerima apa pun itu. Kehilangan, misalnya. Lihat laki-laki itu. Lihatlah caranya menenangkan wanita yang histeris. Sungguh tenang dan tegar, bukan. Meski di matanya ada sesuatu yang ingin jatuh.”

Kamu menggenggam sebelah tanganku. “Tetaplah di sampingku Ponja.”

“Selalu Sena”

Saat melewati ruangan itu, kamu menggenggam tanganku erat. Wajahmu menunduk seperti orang ketakutan dan berusaha terlihat baik-baik saja. Tak jauh di depan. Kita memasuki ruangan tempatmu. Ada wajah yang tersenyum hangat. Wajah keluarga kita. Yang selalu bersabar dan selalu ada. Wajah yang mengirim makna bahwa hidup butuh segala upaya.

 

RS. Fagahusada, 

18 Agustus 2022 

No comments for "Sepasang Mata Yang Kehilangan Harapan"