Di Hadapan Cahaya Mimpi Mati Begitu Saja

Matahari telah memberanguskan malam. Cahayanya melesat bagai anak panah. Menancap pada apapun yang menghalanginya. Pada daun. Pada rumah. Pada ventilasi. Dan pada jendela untuk membenturkan mimpi ke kenyataan hidup sebenarnya. Tapi yang pasti, di hadapan cahaya, mimpi semalam mati begitu saja. Lalu kepada mata yang telah terbuka, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Begitulah manusia, setelah bermimpi berpura-pura tidak peduli.

Sambil menenggak sisa anggur, mata lelaki itu melawan pagi yang baru saja bangkit. Cahaya telah menghampar ke seluruh badannya yang bertelanjang dada. Namun ia tidak peduli. Baginya menenggak anggur sampai habis adalah perlawanan sebenarnya.

Ia menenggak lagi anggur langsung dari mulut botol. Terdengar desis menahan sesuatu. Mulutnya yang melebar tertutup kembali dengan cepat. Matanya kembali menatap laut di hadapannya. Begitulah ia yang selalu berjalan seorang diri. Baginya kesendirian merupakan modal utama untuk melawan segala ketakutan. “Tak ada yang benar-benar melawan jika belum membakar sunyi atas kesendirian.” Begitu katanya setelah menenggak anggur.

Sungguh membingungkan dan kadang juga tak bisa ditebak. Kehidupannya penuh misteri. Bisa dibilang, ia-lah yang paling misterius dari misterius itu sendiri. Sebab kemisteriusannya kita tidak tahu kapan kemunculannya dan kepergiannya. Itulah mengapa teman-temannya di tongkrongan menganggapnya hantu.

Pernah suatu kali di suatu senja.  Setelah mengikuti lomba dan merayakan keberhasilan dari seorang teman. Ia muncul begitu saja di tempat pembakaran ikan. Menemani teman bercerita meski ia tak selalu bercerita lalu menghilang begitu saja.

Begitulah ia, lelaki yang selalu setia pada kesendirian. Ramai dan riuh bukanlah tempatnya. Baginya segala kesendirian adalah kumpulan jawaban atas setiap pertanyaan dalam kepalanya. Mungkin suatu saat kepalanya akan pecah karena pertanyaan yang berserakan. Meski demikian ia selalu ramah dan santun. Karakternya yang menyukai kesendirian telah membuatnya lebih dewasa. Di antara teman-temannya, ia-lah yang paling dewasa. 

Apalagi saat minuman anggur telah menanam pengaruh dalam pikirannya. Tingkat kedewasaan yang dimilikinya meningkat. Mawas diri tak pernah gagal. Sampai-sampai ia mencapai tingkat di mana harus membuli diri sendiri. Bukan tanpa sebab. Ini semua terjadi saat pertistiwa itu menabrak hatinya. Sebuah pertistiwa yang membuatnya bertanya-tanya, kenapa perpisahan menghadirkan luka-luka?

Ombak laut terus bergantian mencium bibir pantai. Sesekali ombak itu dapat menyentuh kaki lelaki itu. Kaki yang kuat melangkah membenahi luka-luka. Kuat menahan perih ketika ombak melumuri kakinya. Namun ia tidak peduli sama sekali.

Sedang matahari melongok dari balik mega-mega. Ia terus saja beradu meski cahaya dari matahari garang menerjang tubuhnya yang setengah telanjang. Namun ia tidak peduli sama sekali. Sebab luka-luka telah membuatnya kuat. Dan karena luka-luka ia telah terbiasa. Akan tetapi, ada satu hal yang bisa membuatnya sedih, kenapa perpisahan menghadirkan luka-luka? namun kesedihan akibat dari pertanyaan itu tidaklah sebarapa. Dan tak ada lagi yang seberapa dalam kesedihannya.

Ia menenggak lagi anggur langsung dari botolnya. Gelas sloki tak lagi mencium bibir lelaki itu. “Kau tahu gelas. Seseorang jika belum meminum kesunyian maka ia masih cengeng.” Kali ini ia berbicara pada gelas yang jelas-jelas tak bisa mendengar apalagi berbicara, meski gelas memang memiliki bibir.

“Aku tahu gelas, kamu memang tidak bisa berbicara apalagi mendengar. Kamu tak jauh beda dengan manusia-manusia sialan itu.” Namun, siapa manusia sialan itu? Sepertinya anggur sudah kuat menancapkan pengaruh. Membuatnya berbicara ngawur. Atau ada luka tercipta karena manusia-manusia sialan itu. 

Sebelum matahari menghajar malam. Lelaki itu membaca koran. Ada satu berita naas mengenai cinta dalam koran itu. Cerita itu berjudul… sebuah cerita cinta yang apabila dibaca judulnya akan menggetarkan udara di pantai ini. Itulah mengapa ia duduk bersama kesunyian di pantai. Karena pelaku dari cerita cinta tersebut adalah lelaki itu sendiri. Tertuduh karena tidak bisa menjaga tali tetap tersambung. Padahal ia telah berjuang hingga berjuang menelan kesunyiannya sendiri.

Hanya saja begitulah cara media memainkan isu. Menggiring opini serta emosi pembaca untuk ikut menyalahkan bahkan mencela lelaki itu. Lelaki yang sedang bertanya, apakah harus pasrah atau tetap menikmati anggur.

“Ah, politik dan cinta memang benar-benar rumit. Tapi cinta dalam politik jauh lebih rumit. Bagaimana caranya untuk bisa memilikimu jika warna baju ini dan bajumu berbeda? rasanya, tak memakai baju sungguh lebih menyenangkan. Di temani anggur dan gelas yang tak bisa berbicara. Bukankah begitu gelas?”

Sehabis berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak. Cinta dan politik sepertinya luka besar dalam hatinya. Sehingga ia harus berpisah dan memilih menyendiri seperti golput. Meski golput pun memiliki warna. Setidaknya, ketika ia tidak memakai baju, warna kulitnya memang berwarna putih. Itulah mengapa golput yang dipilih atas dasar warna kulitnya sendiri membuatnya bahagia.

No comments for "Di Hadapan Cahaya Mimpi Mati Begitu Saja"