Menjawab Pertanyaan Sena

Hahaha, dari dulu sampai sekarang kamu tidak juga berubah Sena. Selalu jutek, kasar, tapi penyayang. Saya bisa membuktikan hal itu. Tentang jiwa penyayangmu.

Begini, seandainya saja kamu bukanlah seorang penyayang, pasti kamu tidak akan bermurah hati untuk membalas apalagi menjawab pertanyaan. Atau, diam-diam kamu memang masih menyayangi saya, Sena. Dan dibalik rasa jengkelmu itu sangat kentara sekali bahwa kamu merindukan saya dari sana. Terbukti dari bagaimana kamu menanyakan bagaimana rupa saya yang sekarang. Juga, akan mengirimi saya satu alat bernama computer. Hahaha, kamu lucu Sena. Saya sangat menyukai itu.

Nanti, bila cerita ini sampai kepadamu. Ceritakan kepada saya bagaimana perasaanmu berjalan sambil membawa badik untuk membunuhku. Sudahlah, saya akan menjawab pertanyaanmu satu persatu.

Dunia yang saya tempati sekarang Sena merupakan sebuah dunia yang luar biasa. Di sini kamu bisa melakukan apa saja. Tentunya melakukan sesuatu yang bermamfaat. Bagaimanapun juga, tempat ini tidak bisa dirusak. Saya pernah menebang pohon untuk membuat rumah. Setelah pohon itu tumbang, tiba-tiba dari bekas tebangan itu telah muncul kembali pohon baru dengan ukuran yang sama. Sungguh menakjubkan, bukan!

Kehidupan di sini selalu magis. Banyak kejadian yang bisa membuatmu tercengang. Mungkin, jika kamu berada di sini, kamu tidak akan berhenti takjub sampai air liur jatuh dari mulutmu. Saya tidak sedang mengejekmu Sena. Tapi inilah fakta dari dunia ajaib ini. Bisa di bilang ini adalah negeri dongeng. Tempat orang tersesat dan tak mau lagi mencari jalan pulang. Sebab di sini tempat tersesat yang siapapun akan jatuh cinta. Sena, saya tidak sedang mengada-ngada. Ini bukanlah cerita fiksi. Ini nyata! Saya pertegas sekali lagi, nyata! Dan saya tidak dalam kondisi gila.

Betapapun, kehidupan di sini merupakan kehidupan yang diinginkan setiap umat. Kehidupan yang tenang. Damai. Tidak ada namanya krasak-krusuk. Darah menjadi haram menembus kulit. Sebagaimana sudah saya bilang Sena, tempat ini bagaikan surga. Saya tidak sedang menceritakan pulau Banda yang dimitoskan sebagai Serpihan dari Surga. Tidak, Sena. Ini bahkan jauh dari itu semua. 

Seandainya saja kamu tidak meninggalkan saya sendirian di bibir pantai. Mungkin kita berdua akan mencapai tempat ini bersama. Oh iya, sayup-sayup saya mendengar bahwa tempat ini di sebut sebagai Desa Firdaus. Ada beberapa kesamaan karakter orang di sini dengan orang-orang Banda masa lampau. Kamu pasti masih ingat catatan dari Ludovico di Verthema, seorang petualang asal Italia tahun 1505 mengisahkan bahwa “Hukum tak diperlukan di sini. Sebab masyarakat begitu pander. Bahkan, jika mereka ingin berbuat jahat sekalipun, mereka tidak akan mengerti caranya.” Begitulah Verthema menggambarkan keadaan social di Banda abad 16.

Dan Sena, masyarakat di desa Firdaus pun demikian. Setelah berabad-abad lamanya saya tinggal di sini. Tidak pernah sekalipun terdengar berita pertengkaran. Semuanya berjalan baik dan aman. Jika sore tiba, saya paling senang duduk di sungai menikmati senja yang selalu keemasan. Ada satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan tempat ini. Semua mata air di sini mengalirkan minuman anggur. Konon, semua mata air di sini berhubungan langsung dengan sungai anggur yang ada di surga. Sekali lagi Sena, saya tidak membual untuk semua cerita ini. Tapi, kembali lagi pada dirimu. Entah mau yakin atau tidak, terserahmu. Saya tidak ingin membuat cerita balasan ini seperti keadaan duniamu yang serba terbatas itu. 

Masih banyak lagi keajaiban dari desa Firdaus ini. Hanya saja saya batasi. Takut kamu bosan membacanya. Mengenai pertanyaan pertamamu, kenapa tiba-tiba saja saya mengirim cerita untukmu? Ini semua karena saya masih setia mencintaimu. Cinta yang memabukkan. Sama seperti menyaksikan senja sambil meminum anggur langsung dari mata air. Sampai sekarang, saya masih mencintaimu. Sebuah cinta yang menembus dimensi apapun. Barangkali, cinta yang seperti ini adalah cinta yang diungkapkan Aan Mansur dalam puisinya, “Aku mencintaimu sepanjang usia Tuhan”. Begitulah kira-kira cinta ini padamu, Sena.

Membaca ceritamu yang dipenuhi kekesalan, saya menganggap itu semua cuma paradoks. Anehnya, cerita kekesalanmu pada saya malah mengembangkan perasaan cinta. Sena, saya masih mencintaimu. Saya tahu kamu akan membalas cerita ini dengan segenap kejujuranmu. Dengan segenap rindu yang malu-malu kamu telanjangi. Tidak lagi berpura-pura kesal. Trikmu sudah terbaca. Jika masih cinta, bilang saja. Jika masih sayang, bilang saja. Jika rindu, bilang saja. Ingat, menyembunyikan perasaan merupakan cara-cara terbaik menyakiti diri sendiri. Maukah kau seperti itu!

Orang di duniamu sering berkata, mencintai dalam diam menjadi alternatif terbaik. Mereka mungkin tidak sadar telah melakukan kekonyolan terbesar apabila membenarkan hal tersebut. Sena, semenjak saya masih di dunia yang sama denganmu. Saya selalu bertolak belakang dengan pendapat umum. Apalagi perihal cinta. Katakan Sena, apakah saya memakai cara-cara konyol untuk mencintaimu? Saya rasa tidak. Hanya cara-cara nekat, Sena. Sebab cara-cara nekat ini juga saya menghilang darimu. Tapi cinta tak pernah sekalipun menghilang. Entah bagaimana kamu memasung cintamu kedalam hati ini.

Tentang rupa saya, Sena. Masih sama ketika terakhir kali kita bertemu. Tidak ada yang berubah sedikitpun. Rambut saya masih hitam. Kulit tidak keriput sama sekali. Juga masih tampan seperti terakhir kali kamu memuji saya. Di sini yang tua hanya waktu. Sudah saya katakan di awal tadi. Tempat ini bagaikan surga. Tempat segala kenikmatan berserakan. Kamu tinggal memilih ingin memungut yang mana.

Pertanyaanmu berikutnya, kenapa cintaku masih setia kepadamu, Sena? Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi saya akan bertanya balik, bagaimana kamu bisa memasung saya kedalam citamu? Lalu, pertanyaan apakah saya menikah? Sena, saya belum menikah sampai sekarang. Ini karena kesetiaan cinta yang saya genggam kepadamu. Jika cinta ini ibarat lilin, maka cinta ini tidak pernah meleleh apalagi sampai membakar tubuh sendiri. inilah cinta yang abadi sena. Cinta yang menempus kemungkinan. Cinta yang tidak mengenal angka dan timbangan. Cinta yang begitu sungguh-sungguh.

Oh iya Sena. Saya tidak membutuhkan computer untuk menulis. Yang saya butuhkan sekarang adalah balasan dari cerita ini. sebab balasan darimu akan menjadi pena dan kertas untuk saya terus menulis. Menumpahkan segala kecintaan padamu. Meskipun kamu memang jengkel atau apalah pada saya. Tapi saya tahu bahwa kamu masih dan akan selalu masih mencitai saya dari Sena.

Cinta dari Sang Kekasih Hati Abadi.

No comments for "Menjawab Pertanyaan Sena"