Perbincangan Dari Atas Motor Bersamanya



Kami menyusuri jalan. Aspal serupa semesta yang gelap. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Hanya hitam. Berdua bersamanya seumpama kebersamaan menuju sunyi. Jalan ini sunyi. Dan kami berdua masih kikuk membuka percakapan. 


Dari atas motor perbincangan lenyap tak berdaya. Kedua bibir berat terasa. Lidah menjadi patung. Dan jalan masih saja sunyi dan gelap. 


Perjalanan pulang menjadi rasa bersalah paling gigil. Dingin malam ikut melestarikan kecanggungan seperti sesuatu harus beku. Sedang motor hanya melaju sedang. Semua peristiwa ini mengisyaratkan buah simalakama.


Di depan sana, terang cahaya tiang lampu jalan sudah terlihat. Area pemukiman warga tak lama lagi terjamah. Roda terus berputar seperti sebelumnya. Membawa kami berdua ke peristiwa selanjutnya. Tapi, sial. Melihat lampu jalan orange yang menyala-nyala itu memantik ingatan sebelumnya. Cahaya lampu jalan itu mirip cahaya senja di Pantai Nirwana tadi. Ikut mewarnai suatu pilihan paling tidak menyenangkan.


Ahg, mata ini mencoba mencari sesuatu yang lain. Melihat kearah spion motor. Sesekali terlihat Sena menatap kosong ke segala yang kami lalui. Diam. Keadaan ini begitu rumit. “Oooo… Ponja. Apa yang harus dilakukan sekarang?” teriak saya dalam kepala. 


Memasuki area pemukiman warga. Terang lampu jalan dan lampu rumah menghampar dalam gelap. Semua menjadi terang. Namun wajah Sena masih saja muram. Matanya kosong. Kadang ia menarik nafas dalam-dalam. Memaksa paru-parunya menjadi sesak. Lalu menghembuskannya kembali bersama tiupan angin dari atas motor ini. 


“Ooo… Ponja pecahkaa…” belum sempat saya mengakhiri kata-kata semangat dalam hati. Tiba-tiba Sena menyapa “Ponja.”


Hanya saja saya bingung dengan kedua bibir ini. Kenapa susah sekali mau terbuka? Tak lama kemudian Sena menyentuh bahu saya dan kembali menyebut nama.


“Ponja.”


“Ya.”


“Kamu marah?”


“Tidak.”


Suasana kembali hening. Dan kami telah meninggalkan pemukiman. Gelap. Hening dan gelap mengisi lagi perjalanan kami.


“Ponja, setelah pertemuan ini. Kapan lagi kita bisa berjumpa?” Tanya Sena memecah keheningan.


“Saya juga tidak tahu Sena.”


“Lalu bagaimana jika kita saling merindukan? Apakah kamu akan membiarkan dirimu tercabik-cabik?”


“Tenang saja Sena. Saya sudah mahir menikmati mala.”


Jalan di depan gelap. Hanya lampu motor yang membias. Diam kembali terjadi. Saya memaki-maki diri sebab luka dari masa lalu masih saja membanjiri. Dalam beberapa hal masa lalu memang selalu aktual, apalagi untuk diri sendiri. Hanya saja untuk menjadi perbincangan antara saya dan dia, belum bisa. Sebab ada ketakutan saat menceritakan masa lalu ini. Saya tidak ingin menceritakan masa lalu menjadi air mata. Sesedih bagaimanapun masa lalu, harus tetap menjadi gelak tawa. Bukan nelangsa.


Memasuki kota, diantara kami keheningan itu masih. Lampu jalan ikut menerangi dan menemani. Wajah Sena jelas terlihat dari kaca spion. Wajahnya suram dan muram.


“Ponja, lewat Kota Mara tempat kita pertamakali duduk berdua di sana. Saya ingin melihat masa lalu pada tempatnya.”


“Sena, saya minta maaf jika ternyata kamu sudah sejauh ini melibatkan perasaan.”


“Tidak apa-apa, Ponja. Saya akan berusaha menikmati luka sebagaimana dirimu yang sudah mahir dalam menikmati sengsara. Perjalanan pulang kali ini memberi saya banyak hal baru yang sudah terungkap. Ternyata, menjadi sesuatu dari masa lalu itu perlu. Entah itu menjadi manusia, menjadi yang terluka, menjadi paling bahagia, atau menjadi paling bijak. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Terima kasih, Ponja.”


“Kamu tidak perlu berterima kasih pada saya. Berterima kasihlah pada dirimu karena kamu mampu selami hal terdalam dari pertemuan ini. Kamu hebat, Sena. Entah kapan kita bisa bertemu lagi? Dalam pertemuan itu saya akan belajar banyak darimu.”


Tempat kami pertama kali duduk berdua sudah di depan mata. Sena meminta untuk berhenti sejenak. Melihat laut dan perahu yang sama sebelumnya. Menarik nafas dalam-dalam. Menghembuskannya. Kemudian kembali ke motor.


“Ponja, kamu mau saya antar kemana?”


“Jembatan Tenga.”


Kami melanjutkan perjalanan. Sampai di Jembatan Tenga, saya berhenti. Turun dari motor sambil mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Tanpa mengucapkan apa-apa, Sena langsung melaju begitu saja. Di dadanya pasti ada sesak yang akan tumpah menjadi air mata.


“Pahamilah, jembatan tempat saya berhenti bukanlah pilihan biasa saja. Sena, perihal jembatan selain menjadi tempat penghubung. Jembatan juga akan menjadi tempat berdarah-darah. Di bawah ada air yang mengalir. Tempat di mana setiap kita membuang mayat-mayat kekecewaan.” Pesan saya pada angin.


Bersambung...


Cerita ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya yang berjudul Insiden Di Balik Sebuah Kejutan

No comments for " Perbincangan Dari Atas Motor Bersamanya"