Semesta Memang Sialan


Saya memberanikan diri melihat ke arahnya. Dan ternyata. Ternyata dia adalah khayalan. Suara itu tidak nyata. Palsu. Suara itu hadir dari nakalnya khayalan. Tidak ada sesiapa di sekitar. Hanya saya sendiri. 

Kembali membaca buku. Jenuh. Awan lebih kuning saat ini. Matahari di ujung sana tak lama lagi mengecup bibir laut. Sedikit lagi. Kebanyakan orang sudah mulai mengambil gambar senja. Ada yang selfie bersama senja. Ada juga yang sedang menatap senja. Melihat meraka yang telah antusias, saya masih tetap santai dengan buku bacaan yang asik ini. Membaca tentang senja. Tentang keindahan sementara dan orang-orang berebut gambar bersamanya.

“Hai.” Tegur seorang wanita. Ia mengambil buku yang sementara saya baca. “Kamu kenapa duduk sendiri di sini?” Ia bertanya sambil melihat-lihat halaman buku yang diambilnya.

“Saya lagi ingin sendiri. Tolong kembalikan buku saya.” Jawab saya.

“Lagi resah ya? Wkwkwk.” Ejeknya sambil mengembalikan buku yang ia ambil begitu saja dari tangan ini.

“Hahaha. Keparat kamu. Kamu sendiri bagaimana?” Tanya saya mencoba mengalihkan sesuatu agar ia tidak menggali lebih jauh.

“Maksud kamu?” Ia bertanya kembali.

“Itu. Kamu kenapa jalan sendiri?” Mencoba memperjelas pertanyaan sebelumnya.

“Lagi pengen. Bosan saya sama omong kosong cuma bahas itu-itu aja.”

“Lagi pengen atau lagi pedih perih. Hahaha.”

“Anjir. Tawamu pecah sekali.”

“Oh iya. Bagaimana kabarmu? Sudah lama ya kita tidak ketemu.”

“Baik. Iya sudah lama sekali. Namamu masih La Ponja kan!”

“Anjir. Pernyataan macam apa itu. Dan kamu masih bernama Pani kan!”

Kami berdua hanya bisa tertawa. Pani adalah teman lama saya. Ia baru saja kembali dari Jakarta. Semenjak lulus SMA kami berpisah. Pani selalu menggunakan kata kasar saat bicara. Kebiasaan ini tidak pudar sampai sekarang. Meski begitu, Pani adalah orang yang baik. Berteman dengannya pun asik. Perbincangan kami tidak kaku. Bebas adalah gaya hidupnya. Tapi, ketika Pani berbicara dengan orang tua atau yang lebih tua. Dia sangat sopan. Satu kalimatnya yang membuat saya senang mendegarnya. “Kita boleh saja nakal tapi harus punya moral.” Sebab perilakunya yang sopan. Orang tua juga kakak-kakak kami di tongkrongan balik menghargainya.

Saya dan Pani mulai berjalan menapaki bibir pantai. Meninggalkan pohon nyiur yang kembali kesepian. Mengeluarkan kamera dari dalam tas. Pani pun demikian.

“Cieee, udah main-main kamera sekarang. Sejak kapan Ponja?”

“Sejak saya menginginkan kamera hahaha.”

“Anjing. Ternyata kamu belum berubah. Masih sama kayak empat tahun lalu.”

“Sadar diri lah. Gaya bahasamu juga masih kasar. Tidak pernah berubah. Selalu ada anjing-anjingnya.”

“Hahaha. Biacara denganmu asik Pon. Saya seperti menemukan kebebasan saat berbicara. Kebiasaanmu yang suka mendengar membuat siapapun pasti betah berlama-lama untuk bercerita. Kedewasaanmu memang sudah terlihat dari SMA dulu.”

“Anjing. Puji darimu adalah buli bagiku.”

Kami berdua kembali tertawa pecah.

“Ponja, foto saya.”

Saya mengiyakan pintanya. Memotretnya bersama kepingan senja. Setengah dari tubuh senja itu telah tertelan laut. Jingga dan awan di pantai berpadu begitu rapi. Tiada kata selain “Indah” untuk pemandangan ini.

Pani masih ingin dipotret. Gayanya bebas. Tapi orang yang seperti ini dalam dunia psikologi merupakan orang yang memiliki beban. Mereka yang tertawa atau menemukan kebebasan di luar rumah, barangkali mereka memiliki banyak masalah. Hanya saja mereka tidak tahu bagaimana cara menumpahkan masalah dari dalam hidupnya.

Di zaman yang semakain keparat ini. Kita pun susah mencari teman yang benar-benar peduli untuk mau mendengarkan masalah yang kita alami. Banyak orang lebih memilih waktu dengan gawainya. Berbicara lewat chat. Padahal kita butuh percakapan langsung. Karena dari percakapan langsung kita bisa merasakan sesaknya mencurahkan apa yang terpendam. Air mata akan mengikhlaskan diri untuk jatuh. Dan di orang yang tepat kita bisa Bercerita Dikit atau banyak. Karena menumpahkan masalah dan air mata itu perlu.

“Ponjaaa… ke sini.” Teriak Pani menuju ke batu besar di ujung sana.

Pani berjalan di depan. Sesekali meminta dipotret. Tiba-tiba seseorang menegur saya.

“Ooo… namamu Ponja.”

Saya langsung melihat ke sumber suara itu. Penantian saya selama empat purnama terbayar sudah. Ia yang saya nantikan berada di samping. Senyumannya. Pancaran matanya. Menarik saya dalam kelegehan hati. Kerisauan saya selama empat purnama habis tersapu ombak Pantai Nirwana. Semesta memang sialan. Saya dibuat rapuh lalu membawa bahagia begitu gaduh.

Bersambung…
Baca juga cerita sebelumnya dengan klik di sini

Catatan:

Cerita ini lanjutan dari cerita sebelumnya yang berjudul Kejutan Demi Kejutan.

No comments for "Semesta Memang Sialan"