Kejutan Demi Kejutan


Setelah pertemuan kita sebelumnya.
Di waktu tidak sengaja dan menjadi rahasia.
Aku benar-benar kalah.
Sebab mengingatmu kembali mengubahku payah.
Pertemuan kita yang disebut sebagai kebetulan-kebetulan menyenangkan.
Kini menjadi kepastian-kepastian yang menyusahkan.

 
Perjumpaan saya dan dia yang ketiga terjadi dan begitu berkesan. Hingga hari terus saja berlalu. Keinginan untuk bertemu dengannya tak pernah luruh. Bahkan di waktu siang yang mulai mengempes, keinginan untuk bertemu dia terus saja tumbuh. Saya bingung dengan perasaan-perasaan ini. Sangat kurangajar sekali.

Sudah empat purnama. Saya dan dia masih belum lagi berjumpa. Sungguh rahasia benar-benar membuat saya binasa. Harapan-harapan yang saya langit-langitkan hanya hinggap pada langit-langit mulut. Jika keluar, harapan-harapan itu hanya bergantung setinggi plafon. Pusing. Enggan rasanya untuk memikirkan dia. Memikirkan perjumpan bersamanya. Namun semakin enggan, bayangnya semakin berdatangan. Memahami keadaan ini, saya kembali teringat kalimat Soe Hok Gie “bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi, suatu saat di mana kita tak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.” Barangkali, penantian adalah politik kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Di mana setiap manusia tidak bisa menghindar sehingga secara terpaksa harus terjun kedalamnya. Ah, semakin pusing saya memikirkan ini semua.

Saya mengecek jam tangan. Sekarang sudah pukul 16.00 waktu paling nyaman untuk santai di pantai. Saya ingin membuktikan perkataan teman saya yang katanya senja bisa membantumu menghilangkan keresahan-keresahan dalam dirimu. Karena jingganya akan memesona. Akan tetapi, keresahan-keresahan itu bisa hilang hanya sejenak. Itu pun jika kamu bisa tahu bagaimana cara menikmati senja dengan baik. Sialnya saat itu saya tidak sempat menanyakan bagaimana cara menikmati senja dengan baik. Teman saya sudah keburu pergi diburu waktu.

Saya melihat motor saya yang saya namai si Pio. Lalu meminta maaf padanya karena hari ini saya masih memilih ojek dari pada harus mengendarainya. Saya butuh teman ngobrol meski hanya sekadar omong kosong di atas motor. Begitulah, karena pada tiap-tiap keadaan meresahkan kita perlu perbincangan.

Setelah siap semua peralatan saya seperti kamera, buku Seno Aji yang berjudul Negeri Senja. Saya pun pergi ke jalan raya memanggil ojek.

Perjalanan terasa biasa saja. Perbincangan basa-basi tidak selalu menarik. Maklum. Omong kosong memang seperti itu adanya. Sialnya, di dunia manusia omong kosong tak akan mati.

Meter demi meter dilalui. Aroma pantai mulai tercium.

“Stop di sini saja, bang.” Pinta saya memberhentikan ojek.

“Kenapa mau stop di sini?” tanya si ojek penasaran.

“Saya mau jalan kaki.” Jawab saya sembari mengeluarkan uang untuk membayar. Lalu beranjak meninggalkan ojek begitu saja.

Sesampai di pantai. Pertanyaan mengenai dia mulai menghempas kembali. Apakah saya akan bertemu dia lagi? Atau harapan ini tetap menjadi misteri? Agghh, bulshit.

Nyiur di sana memanggil-manggil. Matahari sebentar lagi tenggelam. Awan mulai menguning. Banyak orang mempersiapkan gawainya untuk mengambil gambar senja sore ini. Saya pun bertanya, kenapa senja bisa dengan mudahnya untuk dinikmati setiap orang? Saya pun sering berkhayal seandainya senja sebuah es-krim yang bisa dijilat. Rasa dari es-krim senja itu seperti apa? Apakah rasa lemon ice? Atau…

Sambil membaca buku Negeri Senja di bawa pohon nyiur ini. Saya rasa ada seseorang yang mendekat. Sontak saja saya melirik ke arahnya. Wajah itu. Tampilan itu. Juga jilbab hitam itu. Tidak mungkin yang saya lihat ini adalah dia. Langkah kakinya semakin mendekat ke saya. Matahari yang mengikut dari balik punggungnya membuat saya sulit memastikan wajahnya. Apakah benar itu adalah dia atau bukan? Anehnya dia semakin mendekat. Kalau yang saya lihat ini bukan dia mana mungkin dia akan terus berjalan menuju ke sini. Waduh, dia semakin dekat. Matahari di balik punggungnya terus saja memburamkan kedua mata ini.

“Permisi.” Katanya.

“Iya.”

Sial. Bangsat. Ternyata bukan dia. Hanya orang lain yang ingin lewat menuju ke teman-temanya di ujung sana. Keparat memang kepala ini. Juga jantung yang sempat deg-degan karena menganggap ada perjumpaan ke-empat di Pantai Nirwana bersamanya. Lebih baik saya lanjut baca buku. Namun belum satu halaman saya baca buku ini. Seseorang dari samping menegur.

“Hey.” Suara ini tidak asing. Suara ini terdengar seperti suara seseorang yang saya jumpai sebelumnya. Suara wanita itu. Saya memberanikan diri untuk melihat ke arahnya. Dan ternyata dia adalah…

Bersambung...
Apakah mereka akan berjumpa kembali? Nanti baca saja dicerita berikutnya. Hehe

Catatan:

Cerita ini lanjutan dari cerita sebelumnya yang berjudul Surat Untukmu.
Untuk membaca cerita sebelumnya dari awal silahkan buka Categories/Kategori→Cerita Berlanjut


No comments for "Kejutan Demi Kejutan"